Selasa, 26 Januari 2016

Filsafat pendidikan pancasila dalam trilogi pendidikan



Filsafat pendidikan pancasila dalam trilogi pendidikan
a.       Ontologi
Ontologi adalah bagian dari filsafat yang menyelidiki tentang hakikat yang ada.
Pancasila terdiri dari sila-sila yang mempunyai awalan dan juga akhiran, dari kata dasarnya yang berarti meliputi hal yang jumlahnya tidak terbatas dan tidak terlepas dari keadaan, tempat dan waktu.
b.      Epistemologi
Epistemologi adalah studi tentang pengetahuan (adanya) benda-benda. Epistemology yang dapat diartikan sebagai filsafat yang menyelidiki sumber, syarat, proses, terjadinya ilmu pengetahuan, batas validitas, dan hakikat ilmu pengetahuan.
c.       Aksiologi
Aksiologi adalah bidang filsafat yang menyelidiki aspek nilai (value). Nilai tidak akan timbul dengan sendirinya, nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa yang dipergunakan dalam pergaulan sehari-hari.
Mentalitas Pendidik
            Metode sebagus apapun, materi sedalam apapun, tidak akan berguna, jika sang guru tidak memiliki mentalitas pendidik. Saya setidaknya melihat ada lima bentuk mentalitas yang perlu dipeluk oleh setiap guru, terutama guru-guru yang terlibat langsung dalam pengajaran Pancasila. Mentalitas ini juga terkait erat dengan upaya menajamkan penerapan sekaligus pendidikan Pancasila dengan menggunakan perspektif filsafat.
            Mentalitas pertama adalah guru yang menghargai setiap pendapat muridnya, seganjil apapun pendapat itu. Sekolah adalah komunitas pembelajar. Guru dan murid adalah dua pihak yang sedang belajar bersama untuk memperluas sekaligus memperdalam pengetahuan. Kesalahan menjawab suatu pertanyaan seringkali merupakan titik tolak untuk membuka lahan-lahan pemikiran baru, atau proses untuk selangkah lebih maju, guna menemukan jawaban yang lebih tepat. Proses semacam inilah yang harus sungguh dihargai oleh seorang pendidik.
            Mentalitas kedua adalah mentalitas demokratis tanpa pernah terjatuh ke dalam anarki, atau kekacauan kelas, dimana segala hal diperbolehkan, dan otoritas lenyap. Ini sebenarnya langsung terkait dengan mentalitas ketiga, yakni mentalitas otoritas tanpa menjadi guru yang otoriter. Seorang pendidik sejati haruslah peka pada tegangan-tegangan tipis semacam ini, sehingga sekolah dan kelas sungguh menjadi komunitas pembelajar yang tidak hanya menambah ilmu, tetapi juga menyenangkan, dan membentuk karakter.
            Mentalitas keempat adalah apa yang saya sebut sebagai mentalitas komunikatif. Seorang pendidik sejati mengajar dengan menggunakan contoh-contoh yang praktis, sekaligus juga dengan bahasa sehari-hari yang mudah dimengerti. Dengan ini, bahan yang ia kuasai, misalnya soal Pancasila, bisa sungguh hidup, dan terasa persentuhannya dengan kehidupan manusia sehari-hari. Mentalitas komunikatif inilah yang tampaknya mulai lenyap di dalam dunia pendidikan kita.
            Mentalitas kelima adalah apa yang sebut sebagai keberanian untuk membuat terobosan. Apapun teorinya, seorang guru harus mengajak murid-muridnya untuk melampaui teori tersebut, dan berusaha membuat cara pandang baru. Pendidik sejati mengajak peserta didiknya untuk belajar bersama untuk melampaui apa yang sudah ada. Dalam arti ini, belajar adalah suatu petualangan intelektual untuk melakukan terobosan-terobosan yang bermakna.
            Pancasila bukanlah sekedar rumusan kering sisa-sisa masa lalu, melainkan roh sekaligus fondasi utama bangsa Indonesia. Pancasila bukanlah pasal-pasal mati yang mesti dihafal, melainkan sebuah realitas yang perlu untuk terus ditafsir semakin luas dan semakin dalam dengan menggunakan kerangka berpikir filsafati, sehingga mampu menjadi inspirator perilaku bangsa Indonesia setiap harinya. 
Nama     : Anis Yuningsih
Nim        : 150641093
Kelas      :  SD15-A2
Dosen     :  Aliet Noorhayati Sutrisno


Tidak ada komentar:

Posting Komentar