Filsafat pendidikan
pancasila dalam trilogi pendidikan
a.
Ontologi
Ontologi
adalah bagian dari filsafat yang menyelidiki tentang hakikat yang ada.
Pancasila
terdiri dari sila-sila yang mempunyai awalan dan juga akhiran, dari kata
dasarnya yang berarti meliputi hal yang jumlahnya tidak terbatas dan tidak
terlepas dari keadaan, tempat dan waktu.
b.
Epistemologi
Epistemologi
adalah studi tentang pengetahuan (adanya) benda-benda. Epistemology yang dapat
diartikan sebagai filsafat yang menyelidiki sumber, syarat, proses, terjadinya
ilmu pengetahuan, batas validitas, dan hakikat ilmu pengetahuan.
c.
Aksiologi
Aksiologi
adalah bidang filsafat yang menyelidiki aspek nilai (value). Nilai tidak akan
timbul dengan sendirinya, nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa yang
dipergunakan dalam pergaulan sehari-hari.
Mentalitas Pendidik
Metode sebagus apapun, materi sedalam apapun, tidak akan berguna, jika sang
guru tidak memiliki mentalitas pendidik. Saya setidaknya melihat ada lima
bentuk mentalitas yang perlu dipeluk oleh setiap guru, terutama guru-guru yang
terlibat langsung dalam pengajaran Pancasila. Mentalitas ini juga terkait erat
dengan upaya menajamkan penerapan sekaligus pendidikan Pancasila dengan
menggunakan perspektif filsafat.
Mentalitas pertama adalah guru yang menghargai setiap pendapat muridnya,
seganjil apapun pendapat itu. Sekolah adalah komunitas pembelajar. Guru dan
murid adalah dua pihak yang sedang belajar bersama untuk memperluas sekaligus
memperdalam pengetahuan. Kesalahan menjawab suatu pertanyaan seringkali
merupakan titik tolak untuk membuka lahan-lahan pemikiran baru, atau proses
untuk selangkah lebih maju, guna menemukan jawaban yang lebih tepat. Proses
semacam inilah yang harus sungguh dihargai oleh seorang pendidik.
Mentalitas kedua adalah mentalitas demokratis tanpa pernah terjatuh ke dalam
anarki, atau kekacauan kelas, dimana segala hal diperbolehkan, dan otoritas
lenyap. Ini sebenarnya langsung terkait dengan mentalitas ketiga, yakni
mentalitas otoritas tanpa menjadi guru yang otoriter. Seorang pendidik sejati
haruslah peka pada tegangan-tegangan tipis semacam ini, sehingga sekolah dan
kelas sungguh menjadi komunitas pembelajar yang tidak hanya menambah ilmu,
tetapi juga menyenangkan, dan membentuk karakter.
Mentalitas keempat adalah apa yang saya sebut sebagai mentalitas komunikatif.
Seorang pendidik sejati mengajar dengan menggunakan contoh-contoh yang praktis,
sekaligus juga dengan bahasa sehari-hari yang mudah dimengerti. Dengan ini,
bahan yang ia kuasai, misalnya soal Pancasila, bisa sungguh hidup, dan terasa
persentuhannya dengan kehidupan manusia sehari-hari. Mentalitas komunikatif
inilah yang tampaknya mulai lenyap di dalam dunia pendidikan kita.
Mentalitas kelima adalah apa yang sebut sebagai keberanian untuk membuat
terobosan. Apapun teorinya, seorang guru harus mengajak murid-muridnya untuk
melampaui teori tersebut, dan berusaha membuat cara pandang baru. Pendidik
sejati mengajak peserta didiknya untuk belajar bersama untuk melampaui apa yang
sudah ada. Dalam arti ini, belajar adalah suatu petualangan intelektual untuk
melakukan terobosan-terobosan yang bermakna.
Pancasila bukanlah sekedar rumusan kering sisa-sisa masa lalu, melainkan roh
sekaligus fondasi utama bangsa Indonesia. Pancasila bukanlah pasal-pasal mati
yang mesti dihafal, melainkan sebuah realitas yang perlu untuk terus ditafsir
semakin luas dan semakin dalam dengan menggunakan kerangka berpikir filsafati,
sehingga mampu menjadi inspirator perilaku bangsa Indonesia setiap harinya.
Nama
: Anis Yuningsih
Nim : 150641093
Kelas :
SD15-A2
Dosen : Aliet
Noorhayati Sutrisno
Tidak ada komentar:
Posting Komentar